Selasa, 07 Juni 2011

Model Pendidikan Agama yang Berbasis Khazanah Budaya Lokal

Maaf saya ambil dari internet..

Memuat...

Model Pendidikan Agama yang Berbasis Khazanah Budaya Lokal
Diposkan oleh Drs. H.M. Syamsuddin, M.Pd di 04:49

Oleh: Drs. H.M. Syamsuddin, M.Pd.

Disampaikan Pada: Workshop Guru SMP se-Provinsi Banten

Tanggal: 14 Sya’ban 1426 H / 19 September 2005 M


1. Pendahuluan

Dunia tengah bergeser secara revolusioner memasuki gelombang ketiga (Era Informatika) meminjam istilah futurolog Alvin Toffler sebagai kelanjutan dari gelombang kedua dan pertama (Era Industri dan Era Agraris) dengan segala masalahnya.


Akibat lanjutan dari pergeseran tersebut, nilai-nilai budaya lokal dan agama mengalami proses marginalisasi (peminggiran), bahkan secara perlahan ummat beragama merasa asing terhadap ajaran agamanya seperti yang diungkapkan dalam hadits: Al-Islamu ghoriiban wa saya’uudu ghoriban kama bada-a Islam asalnya asing dan kembali menjadi asing seperti pada waktu permulaan (Al-Hadits).


Bukan hanya itu era informasi juga menawarkan pola hidup konsumerisme, hedonisme, alkoholisme, anarkisme, sadisme, pornografi, pornoaksi dan budaya permissive lainnya yang sangat bertentangan dengan nilai-nilai moral dan agama. Celakanya budaya tersebut sudah mulai merasuki kehidupan pemuda dan pada sebagian remaja kita.


Banten yang memiliki sejarah gemilang di masa silam, relijius (Islami), komitmen dan konsisten terhadap kebenaran, anti penjajahan (heroik) dan cinta damai dalam pergaulan, adalah nilai-nilai budaya yang sangat menarik untuk digali dan dikaji sebagai sumber inspirasi dan motivasi dalam melakukan penetrasi terhadap budaya asing melalui model Pendidikan Agama yang lebih membumi dan berbasis khazanah budaya lokal yang Islami.


2. Hakikat Pendidikan Agama

Dalam terminologi Islam, pendidikan pada mulanya disebut ta’dib yang mencakup unrur-unsur pengetahuan (‘ilm) dan pengasuhan yang baik (tarbiyah). Kata ta’dib untuk pengertian pendidikan terus berkembang sejak zaman Nabi hingga masa kejayaan Islam. Bahkan untuk semua pengetahuan yang dihasilkan oleh akal manusia waktu itu disebut adab. Kemudian ketika para ulama membicarakan spesialisasi dalam ilmu pengetahuan, maka pengertian adab menyempit, hanya digunakan untuk istilah etika (akhlak), sehingga kata ta’dib secara perlahan bertukar istilah dengan education pada abad modern. Maka mereka langsung menterjemahkannya dengan kata tarbiyah, padahal maknanya tidak sama persis dengan istilah education di dunia Barat.


Dengan demikian semakin populerlah istilah tarbiyah di seluruh dunia Islam untuk menyebut “pendidikan Islam”. (Syekh Muhammad Naquib Al-Atas : 1984 : 74-75).

Oleh karena itu pendidikan agama (Islam) dapat diartikan bimbingan jasmani rohani berdasarkan hukum-hukum agama Islam menuju kepada terbentuknya kepribadian utama menurut ukuran-ukuran Islam (D. Marimba 1962:2).


Hakikat pendidikan agama adalah “usaha mengembangkan fitrah manusia dengan ajaran agama Islam, agar terwujud kehidupan manusia yang makmur dan bahagia”. (Syahminan Zaini 1986:4).


Adapun cara yang ditempuh oleh pendidikan agama yaitu “dengan menanamkan akhlaq yang baik kepada generasi muda dan menyirami dengan air petunjuk dan nasehat sehingga menjadi pembawaan baginya membuahkan kemulyaan dan kebaikan suka bekerja untuk tanah air”. (Syekh Musthafa Al-Ghulayaini 1946 : 189).


Dari beberapa definisi di atas menggambarkan, bahwa pendidikan agama adalah proses transformasi total dari pendidik kepada peserta didik, baik berupa pengetahuan, pengalaman, nilai dan budaya yang Islami. Dalam konteks inilah pendidikan membuka peluang untuk bersinergi dengan budaya lokal sebagai basis kompetensi bagi pengembangan watak dan kepribadian murid menjadi insan kamil yang berperadaban Islam.


3. Sejarah Kesultanan Banten

Menurut Halawany Michrob (1190:126) bahwa kedatangan Islam di Banten diketahui melalui Purwaka Caruban Nagari, sebuah naskah yang ditulis pada tahun 1720 dan baru ditemukan pada tahun 1970. Diceritakan bahwa ketika Syarif Hidayatullah singgah di Banten dalam perjalanannya dari Mesir menuju Jawa, sudah dijumpai banyak penduduk beragama Islam berkat jasa Sunan Ampel Denta yang sudah menetap di Jawa diperkirakan tahun 1431. Diketahui pula bahwa penyebar Islam di Banten pertamakali adalah Sunan Ampel Denta, dilanjutkan oleh Syarif Hidayatullah dan baru kemudian oleh Maulana Hasanuddin. Agama Islam dikembangkan melalui perdagangan, perkawinan, pendidikan dan seni budaya.


Banten juga menjalin hubungan khusus dengan Mekah dan Turki. Bagi para penguasa Banten, Mekah bukan hanya merupakan pusat ilmu pengetahuan Islam, tetapi juga pusat kekuasaan Islam.


Gelar-gelar penguasa Islam Banten sejak semua sudah menunjukkan kuatnya hubungan politik dengan agama. Gelar Sultan yang diperoleh dari Mekah bukan saja sebagai kepala negara, tetapi juga sebagai pemimpim agama. Demikian juga sebutan Maulana di depan nama mereka (Martin Van Bruinessen 1991:249) yang mempunyai arti ulama yang berpengetahun luas dan sufi. Gelar ini mencerminkan bahwa para penguasa Banten mendalami ilmu keagamaan yang berimplikasi pada kebijakan politiknya.


Bahkan menurut HAMKA, dari gelar sultan-sultan Banten itu timbul dua kesan:

Pertama: bertambah mendalamnya ajaran agama dan tasawuf;

Kedua : untuk bertahan dengan kemegahan gelar-gelar tersebut setelah kekuasaannya hilang.

Sampai akhir masa pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa (w.1682) kemerdekaan dan kedaulatan Banten masih terjaga. Namun setelah Sultan Haji menandatangani perjanjian dengan VOC tahun 1684 hingga beberapa orang Sultan sesudahnya, Banten mulai diintervensi oleh VOC (MC. Ricklefs 1995:161).


4. Karakteristik Masyarakat Banten

Ada tiga karakteristik yang melekat pada masyarakat Banten seperti diungkapkan oleh Halawany Michrob, yaitu:

- Berpendirian (Istiqomah) dalam mempertahankan kebenaran;

- Memiliki semangat juang dan rela berkorban (Heroik);

- Tolerasi dan Cinta damai dalam kehidupan bermasyarakat.



5. Aspek budaya pada Kesultanan Banten

- Kultur masyarakat Banten pada masa kesultanan dibangun atas landasan nilai-nilai reliji yang Islami. Hal itu terlahir karena para pemimpin Banten saat itu, bukan hanya sebagai kepala negara tetapi juga pemimpin agama (Ulama).

- Nilai-nilai agama yang mengkristal menjadi kultur lokal, ternyata memiliki daya tangkal yang ampuh dalam merespons budaya asing seperti diungkapkan oleh Mundardjito (1986:40) yang mencermati pandangan Prof. DR.D. Soerjanto menyimpulkan hakekat budaya lokal sebagai berikut:

a. mampu bertahan terhadap budaya luar

b. mampu mengakomodasi unsur-unsur budaya luar

c. mampu mengintegrasi unsur budaya luar ke dalam budaya Islam

d. mampu mengendalikan, dan

e. mampu memberi arah pada perkembangan budaya.

- Persentuhan awal budaya Banten dengan budaya Islam dari Arab, selain melalui dunia perdagangan, perkawinan dan juga pendidikan.

- Pengiriman utusan khusus kesultanan ke Mekkah untuk memperdalam ajaran Islam sekaligus menunaikan ibadah haji, semakin melicinkan transformasi nilai-nilai budaya Islam dari Arab dan memperkokoh komitmen para sultan Banten dalam memegang teguh ajaran agama.

- Tiga pilar benteng pertahanan Islam di Banten yaitu: ULAMA, UMARO dan JAWARA sebagai simbol tri in one kekuatan masyarakat dalam membangun kultur Banten yang relijius dan Islami.



6. Model Pendidikan Agama yang Berbasis Budaya Lokal
Pendidikan agama meliputi proses pembelajaran, pembiasaan, pembudayaan, pelatihan, penjernihan dan pencerahan nilai-nilai yang relijius dalam mengembangkan fitrah kemanusiaan menuju kedewasaan. Maka kegiatan pendidikan perlu mempertimbangkan potensi dan kultur lokal, karena produk yang diharapkan adalah generasi muslim kaafah yang berakhlaq mulia, mampu menjaga keseimbangan antara: hablum minallah, hablun minannas dan hablun minal’alam.

Banten yang memiliki potensi dan khazanah budaya yang Islam dengan tiga ciri : Teguh dalam mempertahankan kebenaran (Istiqomah), Memiliki semangat juang dan rela berkorban (heroik), Toleransi dan Cinta damai dalam kehidupan bermasyarakat, perlu untuk dimunculkan dalam format baru model pendidikan agama. Demikian pula tiga pilar symbol kekuatan masyarakat Banten, ‘ULAMA, UMARO DAN JAWARA membutuhkan rumusan yang lebih riil untuk diimpelemtasikan ke dalam model pendidikan agama yang berorientasi kepada kualitas SDM Banten Masa depan yang selalu Baru dan Berubah.

7. Kesimpulan

Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa model pendidikan agama di Banten yang berbasis budaya lokal adalah proses transformasi pengetahuan, pengalaman, nilai dan budaya Banten dengan ciri:

- Relijius Sosialistik (Rahmatan Lil’alamien);

- Ulama, Umaro dan Jawara sebagai tri in one simbul kekuatan masyarakat;

- Toleransi dan Cinta Damai dalam kehidupan bermsyarakat.


Semoga bermanfa’at. Amien.

Peran Media dalam Pembelajaran

A.    Peran  media dalam Pembelajaran
Menurut Ensiclopedi of Educational Reseach, nilai atau manfaat media pendidikan adalah sebagai berikut :
a.      Meletakan dasar-dasar yang kongkret untuk berpikir sehingga mengurangi verbalitas.
b.     Memperbesar perhatian siswa.
c.      Meletakan dasar yang penting untuk perkembangan belajar oleh karena itu  
pelajaran lebih mantap.
d.     Memberikan pengalaman yang nyata.
e.      Menumbuhkan pemikiran yang teratur dan continue.
f.       Membantu tumbuhnya pengertian dan dengan demikian membantu perkembngan bahas
g.     Memebrikan pengalaman yang tidak diperoleh dengan cara yang lain.
h.     Media pendidikan memungkinkan terjadinya interaksi langsung antara guru dan murid.
i.        Media pendidikan memberikan pengertian atau konsep yang sebenarnya secara realita dan teliti.
j.       Media pendidikan membangkitkan motivasi dan merangsang kegiatan belajar[2]
Menurut, Yusuf Hadimiarso, dalam bukunya Menyemai Benih Teknologi Pendidikan menjelaskan bahwa berbagai kajian teori maupun praktek menunjukan tentang kegunaan media dalam pembelajaran sebagai berikut :
a. Media mampu memberikan rangsangan yang bervariasi kepada otak kita, sehingga otak kita dapat berfungsi secara optimal. Penelitian yang dialakukan oleh Roger W. Sperry, Pemenang hadian nobel tahun 1984, menunjukan bahwa belahan otak sebelah kiri merupakan kedudukan tempat kedudukan pikiran yang bersifat verbal, rasional, analitikan dan konseptual. Belahan ini mengontrol wicara. Belahan otak sebelah kanan merupakan perlu diberikan rangsangan kedudukan pikiran visual, emosional, holistik, fisikal, spatial, dan kreatif. Belahan bagian kanan ini mengontrol tindakan. Pada suatu saat hanya salah satu belahan saja yang dominan.  Rangsangan pada salah satu belahan saja secara berkepanjangan akan menyebabkan ketegangan. Karena itu salah satu implikasi dalam pembelajaran ialah kedua belahan perlu diberikan rangsangan secara bergantian dengan rangsangan audio visual.
b. Media adapat mengatasi keterbatsan pangalaman yang dimiliki oleh para siswa. Pengalaman siswa itu berbeda-beda. Latar belakang keluarga dan lingkungannya menentukan pengalaman macam apa yang dimiliki oleh  siswa. Perbedaan pengalaman anak dapat diatasi dengan media ini. Jika siswa tidak mungkin dibawa ke objek yang dipelajari, maka objeknyalah yang dihadirkan di hadapan siswa melalui media.
c.  Media dapat melampaui batas ruang kelas. Bayak hal yang tidak mungkin untuk dialami di dalam ruang kelas secara langsung oleh para siswa. Misalnya karena objek terlalu besar misalanya candi, stasion dan lain-lain, atau terlalu kecil sehingga tidak bisa diamati dengan mata telanjang. Misalnya bakteri, protozoa dan lain sebagainya. Gerakan terlalu lambat, atau terlalu cepat. Bunyi-bunyi yang halus, objek terlalu kompleks dan alasan-alasan lain.
d. Media memungkinkan adanya interaksi secara langsung antara siswa dan lingkungannya.dan merangsang siswa untuk belajar.
e. Media menghasilkan keseragaman pengamatan. Pengamatan yang dilakukan secara bersama-sama bisa diarahkan kepada hal-hal penting yang dimaksudkan oleh guru.
f.   Media memabangkitkan keinginan dan minat baru bagi siswa.
g. Media membangkitkan motivasi dan merangsang siswa untuk belajar.
h. Media memberikan pengalaman yang integral dan meyeluruh dari sesuatu yang kongkrit maupun abstrak.
i.   Media memberikan kesempatan kepada siswa untuk belajar mandiri.
j.   Media meningkatkan kemampuan keterbacaan baru (new litercy) yaitu kemampuan untuk membedakan objek dan menafsirkan objek, tindakan dan lambang yang tampak baik alami maupun buatan manusia, yang terdapat dalam lingkungan.
k. Media mampu meningkatkan efek sosialisasi yaitu dengan meningkatkan kesadaran akan dunia di sekitarnya.
l.   Media dapat meningkatkan kemampuan ekspresi dari guru maupun siswa.[3]
     Edgar Dale, secara jelas memberi penekanan terhadap pentingnya media     pembelajaran, ini dapat dilihat dari pengalaman Dale (Come of Experience) :
a.      Verbal Symbolis.
b.     Visual Symbolis
c.      Sgn, stick fihure.
d.     Radio and recording.
e.      Still picture.
f.       Education television.
g.     Exhibits.
h.     Studi trips.
i.        Demontrations.
j.       Dramatized experience : plas, puppets, role plying.
k.     Contrived experiences : models, mockups, simulation.
l.       Direct puposefull experience.[4]
Secara umum media mempunyai keguanaan :
a.      Memeprid dengan sumber belajar.
b.     Memperjelas pesan agar tidak verbalitas.
c.      Mengatasi keterbatasan ruang, waktu tenaga dan daya indera.
d.     Menimbulkan gairah belajar, interaksi lebih langsung antara murid dengan sumber belajar.
e.      Memungkinkan anak belajar mandiri sesuai dengan bakat dan kemampuan visual audiotori dan kinestetiknya.
Karakteristik dan kemampuan masing-masing perlu diperhatikan oleh guru
agar mereka dapat memilih media mana yang sesuai dengan kondisi dan kebutuhan. Sebagai contoh, media kaset audio, merupakan media auditif yang mengajarkan topik-topik pembelajaran yang bersifat verbal seperti  pengucapan (pronounciation) bahasa asing. Untuk pengajaran bahasa asing media ini tergolong tepat karena bila secara langsung diberikan tanpa media sering terjadi ketidaktepatanyang akurat dalam pengucapan pengulangan dan sebagainya. Pembuatan media kaset audio ini termasuk mudah, hanya membutuhkan alat perekam dan narasumber yang dapat berbahasa asing, sementara pemanfaatnnya menggunakan alat yang sama pula.
Mengapa perlu menggunakan media dalam pembelajaran ? Pertanyaan yang sering muncul mempertanyakan pentingnya media dalam sebuah pembelajaran. Kita harus mengetahui dahulu konsep abstrak dan kongkrit dalam poembelajaran, krena proses belajar mengajar hakekatnya adalah proses komunikasi, penyampaian pesan dari pengantar ke penerima. Pesan berupa isi/ajaran yang dituangkan ke dalam simbol-simbol komunikasi baik verbal (kata-kata dan tulisan) maupun non verbal, proses ii dinamakan encoding. Penafsiran simbol simbol komunikasi tersebut oleh siswa dinamakan deconding.
Adakalanya penafsiran berhasil, adakalanya tidak. Ketidakberhasilan dalam memahami apa yang didengar, dibaca, dilihat atau diamati. Ketoidakberhasilan atau penghambat dalam proses komunikasi dikenal dengan istilah barriers atau noise. Semakin banyak verbalisme semakin abstrak pemahamn yang diterima.
Kemajuan media komputer memberikan beberapa kelebihan untuk kegiatan produksi audio visual. Pada tahun-tahun belakangan komputer mendapat perhatian besar karena kemampuannya yang dapat digunakan dalam kegiatan pembelajaran. Ditambah dengan tekanologi jaringan dan internet, komputer seakan menjadi primadona dalam kegiatan pembelajaran. Tetapi dibalik kehandalan komputer sebagai media pembelajaran terdapat beberapa persoalan yang sebaiknya menjadi bahan pertimbangan awal bagi pengelola pengajaran berbasis komputer.
a.   Perangkat keras dan lunak yang mahal dan cepat ketinggalan jaman.
b.   Teknologi yang sangat cepat berubah, sangat memungkinkan perangkat yang dibeli saat ini beberapa tahun kemudian akan ketinggalan jaman.
c.    Pembuatan program ang rumit serta dalam pengoperasian awal perlu pendamping guna menjelaskan penggunaannya. Hal ini bisa disiasati dengan pembuatan modul pendamping yang menjelaskan penggunaan dan pengoperasian program.[5]
Teknologi terkini dalam pendidikan adalah dikembangkannnya teknologi multimedia. Pengembangan pemanfaatan komputer dalam proses pembelajaran terakhir menjadi mutimedia merupakan suatu era baru dalam perkembangan media yang harus disambut secara positif. Perangkat komputer yang mampu menyajikan teknologi multimedia yang dapat menggabungkan berbagai media seperti teks, suara, gambar, numeriuc, animasi dan video dalam suatu software digital, telah mengoptimalkan penggunaan seluruh panca indera dalam pembelajaran yaitu pendengaran, penglihatan dan sentuhan.